Sejarah Desa Adat Samsam, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan
Tersebutlah
dalam lontar ``Prasasti Sukahet `` dimulai dari perang Gelgel sejak
Pemerintahan Yang Mulia Dalem Dimadia yang berhasil dipukul oleh I Gusti Widia
alias Arya Batan Jeruk.
Sejak
kekalahan Yang Mulia Dalem Dimadia, timbulah kegelisahan diantara putra – putra
raja yang masih hidup. Putra-putra raja ini lalu menyusun kekuatan kembali yang
dipimpin oleh seorang kesatria yang bernama Dewa Agung Putra dengan
pengikut-pengikutnya antara lain I Dewa Sumerta, Ki Pasek Kacang Dawa serta
seluruh rakyat Sweca Pura. Setelah menyusun strategi peperangan, maka mulailah
Dewa Agung Putra memukul Gelgel yang telah dikuasai oleh Arya Batan Jeruk.
Peperangan yang dahsyat ini dimenangkan oleh Dewa Agung Putra yang kemudian
langsung memerintah Gelgel dengan gelar Dalem Jambe.
Diceritakan
sekembalinya dari medan perang dengan hasil kemenangan yang gemilang, maka
salah seorang pengikut Dalem yaitu I Dewa Sumerta sangat kaget melihat putranya
dalam keadaan tenang, malahan sedang bercumbu dengan kekasihnya serta tidak
ikut berperang. Maka murkalah I Dewa Sumerta kepada putranya yang bernama I
Dewa Gede Kesa mau dibunuhnya. Dalam keadaan sengat kritis tersebut, datanglah
Ki Pasek Kacang Dawa serta segera melaporkan hal tersebut kepada Raja. Maka
Raja meminta kepada I Dewa Sumerta agar anaknya I Dewa Gede Kesa dipindahkan ke Tabanan
dengan iringan 20 (dua puluh) panjak yang terdiri dari panjak Ki Pasek Kacang
Dawa. Perpindahan ini diterima oleh Raja Tabanan di Banjar Tegal (Tabanan).
Setelah lama berdomisili di Banjar Tegal, I Dewa Gede Kesa sudah berkeluarga
dan mempunyai putra, pengabdian kepada Raja Tabanan semakin
bijaksana karena semakin hari kedewasaan, kecerdasan serta kealiman beliau
dalam melaksanakan tugas.
Dalam keadaan seperti itu, ada seorang ada seorang
Patih Raja Tabanan yang bernama Arya Telabah merasa iri, lalu segera melapor
kepada Raja Tabanan serta mengusulkan Putra-Putra Kesatrya ini segera
dipindahkan. Tanpa pikir panjang lagi Raja Tabanan menyetujui usul Ki Patih
yang mendapat kepercayaan penuh ini. Oleh Raja, Putra Kesatrya ini maunya
dipindahkan kedaerah sebelah utara dengan maksud menjadi Tabeng Wijang
(benteng) akan tetapi patih yang lain tidak menyetujui, dengan alasan Kesatrya
ini akan mudah mencari bantuan ke Klungkung, maka
diputuskanlah untuk dipindahkan ke sebelah barat kota.
Dalam
perjalanan para Kesatrya yang diikuti oleh para abdi, ditemuilah sebuah tempat
yang mengepulkan asap dari dalam tanah (lokasinya di Pura Sada) tempat ini
dianggap sangat utama, maka ditetapkanlah untuk berdomisili di tempat ini, yang
bernama hutan Metya atau hutan Ustra. Lama-kelamaan terbentuklah sebuah Pemukiman
yang berlokasi di sebelah barat sungai Yeh Nusa. Dikala sedang giat-giatnya
para penghuni memperbaiki kebun dan ladangnya disela dengan megecel ayam pada
waktu istirahat sebagai tradisi waktu itu, maka datanglah seorang Pendeta dari
arah barat. Sesampainya di tempat ini (hutan Ustra)
Pendeta tersebut menaburkan bunga (sari) dan beras kuning (wija). Wija dan Sari
ini tidak lain adalah Samsam, yang disertai dengan Puja Pangastuti Om, Swatyastu,
maka mulai saat Wijasari atau Samsam itu ditaburkan, oleh para leluhur tempat
atau desa ini dinamai Samsam. Mengingat Pertumbuhan Penduduk dan Prubahan jaman
untuk meningkatkan Sradha Bakti kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa maka lama
kelamaan dibentuklah Desa Adat Samsam, yang diprakarsai oleh keturunan
beliau I Dewa Gede Kesa, dengan memulai mendirikan Tri Khayangan yang di
koordinir oleh, Keturunan Beliau.
Pada tahun 1854 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Peraturan Perundangan
tentang Desa, yaitu Pasal 71 Regeeringsleglement, dengan
tujuan agar Pemerintah Hindia Belanda lebih mudah menjalankan Pemerintahannya.
Dan pada saat itu Pemimpin Adat (Bandesa Adat kalau di Bali) secara
langsung dijadikan Kepala Desanya.
Adapun yang pernah
menjabat sebagai Bandesa Adat Samsam:
1. I Dewa Nyoman Perte ..sampai Tahun 1925
2. I Dewa Made Tama Tahun 1925 s/d 1935
3. I Dewa Made Gembor Tahun 1925 s/d 1945
4. I Dewa Putu Semadra Tahun 1945 s/d 1955
5. I Dewa Made Seraya Tahun 1955 s/d 1972
6. I Dewa Nyoman Murdaja Tahun 1972 s/d 1973
7. I Dewa Putu Ariana Tahun 1973 s/d 1976
8. I Dewa Made Putra Tahun 1976 s/d 2000
9. I Made Lantika Tahun 2000 s/d 2006
10. I Dewa Nyoman Sukayadnya Tahun 2006 s/d 2009
11. I Dewa Gede Mahaendrawan Tahun 2009 s/d 2015
12. I Dewa Nyoman Alit Astina Tahun 2015 s/d 2021
13. I Dewa Made Dwija Putra Tahun 2021 s/d 2027
Pada waktu Desa Adat dipimpin oleh I Dewa Made Putra di bulan Mei tahun
1985 Desa Adat Samsam baru memperbaharui Awig-Awig dan Pararem Penyahcah.
Awig
adalah aturan yang dibuat oleh krama Desa Adat dan atau Krama Banjar Adat yang
berfungsi sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana yakni keharmonisan
hubungan antara maausia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Prahyangan), keharmonisan
hubungan antara manusia dengan manusia (Pawongan) dan keharmonisan hubungan
antara manusia dengan lingkungan alam (Palemahan). Dengan demikian awig-awig
merupakan aturan hukum (adat) yang berfungsi untuk mengatur kehidupan
masyarakat Desa Adat guna terciptanya ketertiban, ketentraman dan kedamaian,
serta rasa keadilan di dalam masyarakat Desa Adat. Sehingga awig-awig tersebut
sangat ditaati secara turun temurun oleh krama Desa Adat di Bali.
Dan
Pararem merupakan peraturan pelaksana dari adanya awig-awig dalam satu kawasan
desa adat di Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar